RAUNGAN LAIN MEMBELAH MALAM, MENEMBUS dinding-dinding sekolah, membekukan darah. Tanah bergetar diinjak para hewan buas yang sekarang pastilah sudah dilepaskan. Aku menggelengkan kepala. Dari kenangan tentang kilas balik perang di Lorien, aku tahu pasti sebesar apa hewan-hewan itu. “Demi teman-temanmu dan kita,” kata Nomor Enam, “sebaiknya kita pergi dari sekolah selagi masih ada waktu. Mereka akan menghancurkan seluruh gedung ini demi menangkap kita.” Kami saling mengangguk. “Harapan kita satu-satunya hanyalah masuk ke hutan,” kata Henri. “Apa pun yang kita hadapi, kita mungkin bisa kabur jika kita tetap tak terlihat.” Nomor Enam mengangguk. “Pegang tanganku.” Tanpa perlu disuruh lagi, Henri dan aku memegang tangan Nomor Enam. “Sepelan mungkin,” kata Henri. Lorong itu gelap dan hening. Kami berjalan pelan- pelan, bergerak secepat mungkin dengan sehening mungkin. Raungan lagi. Saat raungan itu masih terdengar, terdengar raungan lain. Kami berhenti. Bukan hanya satu hewan buas, tapi dua. Kami terus berjalan dan masuk ke gedung olahraga. Tidak ada tanda-tanda adanya pengintai. Saat tiba di tengah lapangan, Henri berhenti. Aku menoleh tapi tidak bisa melihat. “Kenapa kita berhenti?” bisikku. “Sst,” katanya. “Dengar.” Aku berusaha mendengarkan. Namun aku tidak mendengar apa pun selain dengungan darah di telingaku. “Hewan buas itu berhenti bergerak,” kata Henri. “Lalu?” “Sst,” katanya. “Di luar sana ada yang lain.” Lalu aku mendengarnya. Suara salakan bernada tinggi yang tampaknya berasal dari hewan-hewan berukuran kecil. Suara itu teredam, walaupun jelas semakin keras. “Apa itu?” tanyaku. Sesuatu mulai membentur-bentur pintu di panggung, pintu yang kami harap bisa kami gunakan untuk kabur. “Nyalakan sinarmu,” kata Henri. Aku melepaskan tangan Nomor Enam, menyalakan tanganku, dan mengarahkannya ke panggung. Henri membidikkan senapan. Pintu itu melonjak-lonjak. Tampaknya sesuatu berusaha mendobrak pintu tapi tidak cukup kuat. Musang-musang, pikirku, hewan kecil bertubuh gemuk yang ditakuti para penulis di Athens. Salah satu dari mereka menghantam pintu begitu keras sehingga pintu itu terlontar dari panggung dan jatuh berdebam di lantai. Padahal kupikir mereka kurang kuat. Kedua musang itu melompat ke depan. Begitu melihat kami, mereka berlari ke arah kami dengan begitu cepat sehingga aku tidak bisa melihatnya. Henri berdiri memandangi sambil membidikkan senapan, meringis senang. Kedua hewan itu berlari ke arah yang berbeda, lalu melompat dari jarak enam meter, yang satu ke arah Henri, satu lagi ke arahku. Henri menembak satu kali. Musang itu meledak dan menutupi Henri dengan darah dan isi perutnya. Pada saat aku akan merobek musang kedua menggunakan telekinesis, musang itu ditangkap oleh tangan Nomor Enam yang tak terlihat dan dihantamkan ke lantai seperti menghunjamkan bola football. Hewan itu langsung mati. Henri mengokang senapan. “Yah, itu tak terlalu buruk,” katanya. Sebelum aku bisa menjawab, seluruh dinding di sepanjang panggung dihantam oleh tinju seekor hewan buas. Hewan itu mundur dan meninju lagi, menghancurkan panggung sehingga kami bisa melihat langit malam. Dampak hantamannya membuat aku dan Henri terpental ke belakang. “Lari!” teriak Henri sambil memuntahkan semua peluru di senapan itu ke arah di hewan buas raksasa. Tidak ada pengaruhnya. Hewan buas itu mencondongkan tubuh ke depan dan meraung sangat keras sehingga aku bisa merasakan bajuku berkibar. Sebuah tangan meraih dan memegangku, membuatku tak terlihat. Hewan buas itu menyerbu ke depan, berlari lurus ke arah Henri. Aku ngeri membayangkan apa yang akan terjadi. “Tidak!” jeritku. “Ke Henri, ke Henri!” Aku meronta dalam cengkeraman Nomor Enam. Akhirnya aku berhasil memegang kemudian mendorongnya. Aku menjadi terlihat kembali. Nomor Enam tetap tak terlihat. Hewan buas itu menyerbu ke arah Henri, yang hanya berdiri diam dan memandanginya. Tak ada peluru. Tak ada pilihan. “Ke Henri!” teriakku lagi. “Ke Henri, Enam!” “Ke hutan!” balas Nomor Enam. Aku hanya bisa memandang. Hewan itu berdiri setinggi sembilan, mungkin dua belas meter, menjulang di atas Henri. Hewan itu meraung, matanya penuh kemarahan. Tinjunya yang besar dan berotot diayunkan tinggi ke udara, begitu tinggi sehingga menerobos kasau dan atap gedung olahraga. Kemudian tinju itu turun, dengan begitu cepat sehingga tampak kabur bagaikan baling-baling kipas angin yang berputar. Aku menjerit ngeri, tahu bahwa Henri akan dihancurkan. Aku tidak bisa berpaling. Henri tampak begitu kecil. Dia berdiri di sana dengan senapan tergantung di sampingnya. Saat tinju hewan buas itu hampir mengenainya, Henri hilang. Tinju itu menghantam lantai gedung olahraga, menghancurkan kayu hingga berkeping-keping, membuatku terlontar ke tribun yang jaraknya enam meter. Hewan buas itu berbalik ke arahku, menghalangi pandanganku ke tempat Henri tadi berdiri. “Henri!” teriakku. Hewan buas itu meraung keras menenggelamkan suara apa pun, jika memang Henri menjawab. Hewan itu melangkah ke arahku. Ke hutan, kata Nomor Enam. Pergi ke hutan. Aku berdiri dan berlari secepat mungkin ke bagian belakang gedung olahraga, yang tadi dihancurkan hewan itu. Aku menoleh untuk melihat apakah hewan itu mengikutiku. Tidak. Mungkin Nomor Enam melakukan sesuatu untuk mengalihkan perhatiannya. Yang kutahu hanya sekarang ini aku sendirian. Aku melompati tumpukan puing-puing dan berlari menjauhi sekolah, berlari secepat mungkin ke hutan. Kegelapan merubungiku, mengikuti bagaikan hantu jahat. Aku tahu aku bisa berlari lebih cepat daripada mereka. Hewan buas itu meraung dan terdengar suara dinding lain hancur. Aku mencapai pepohonan. Kerumunan kegelapan seolah hilang. Aku berhenti dan mendengarkan. Pepohonan bergoyang ditiup angin. Di sini ada angin! Aku berhasil kabur dari kubah apa pun yang dibuat para Mogadorian. Sesuatu yang hangat berkumpul di pinggang celanaku. Luka di punggung akibat peristiwa di rumah Mark James terbuka lagi. Siluet sekolah tampak suram dari tempatku berdiri. Seluruh gedung olahraga sudah hancur. Yang tersisa hanya tumpukan batu. Bayangan hewan buas itu menjulang di atas puing-puing kantin. Kenapa hewan itu tidak mengejarku? Dan di mana hewan buas kedua yang suaranya kami dengar tadi? Hewan itu menghantamkan tinjunya lagi, dan satu ruangan lagi hancur. Mark dan Sarah ada di suatu tempat di sana. Aku menyuruh mereka kembali dan sekarang aku sadar betapa bodohnya diriku. Aku tidak mengira bahwa hewan buas itu akan tetap menghancurkan sekolah walaupun aku tidak ada di sana. Aku harus melakukan sesuatu untuk mengusirnya. Kuhirup napas dalam-dalam, mengumpulkan kekuatan. Begitu melangkah, sesuatu yang keras memukul belakang kepalaku. Aku jatuh ke lumpur dengan wajah terlebih dahulu. Kusentuh kepalaku yang barusan dipukul. Tanganku berlumuran darah, menetes dan ujung jariku. Aku berbalik. Awalnya aku tidak melihat apa- apa. Namun kemudian sesuatu melangkah keluar dari kegelapan dan menyeringai. Prajurit. Jadi seperti ini tampang prajurit Mogadorian. Lebih tinggi daripada pengintai―dua meter, mungkin malah dua setengah meter―dengan otot-otot yang menonjol dari balik jubah hitam. Urat-urat bertonjolan di sepanjang masing-masing lengannya. Sepatu bot hitam. Dia tidak mengenakan penutup kepala. Rambut panjang menjuntai ke bahu. Kulit pucat dan licin seperti pengintai. Seringai percaya diri, bertekad bulat. Salah satu tangannya memegang pedang. Panjang dan berkilau, terbuat dari suatu logarn yang belum pernah kulihat baik di Bumi ataupun di Lorien. Pedang itu juga tampak berdenyut, seakan-akan hidup. Aku mulai merangkak menjauh. Darah menetes ke leherku. Hewan buas di sekolah meraung lagi. Aku meraih dahan pohon yang ada di dekatku dan menarik diriku berdiri. Prajurit itu berjarak tiga meter. Aku mengepalkan kedua tanganku. Prajurit itu menggerak-gerakkan pedang dengan acuh tak acuh ke arahku. Lalu suatu benda keluar dari ujung pedang, tampak seperti belati kecil. Aku memandang belati itu melengkung, meninggalkan jejak di belakangnya seperti asap pesawat. Sinarnya memantraiku sehingga aku tidak bisa mengalihkan pandangan. Kilatan cahaya terang meniadakan segalanya. Dunia menjadi hampa dan tanpa suara. Tidak ada dinding. Tidak ada suara. Tidak ada lantai atau langit-langit. Perlahan-lahan berbagai bentuk mulai terlihat kembali. Pepohonan berdiri bagai patung-patung kuno yang berbisik bahwa dulu dunia pernah berada di suatu alam lain yang hanya dihuni kegelapan. Aku mengulurkan tangan untuk meraba pohon terdekat, satu-satunya warna abu-abu di dunia yang putih. Tanganku menembus pohon itu. Untuk sesaat pohon itu beriak seolah terbuat dari cairan. Aku menarik napas dalam. Saat mengembuskan napas, rasa sakit kembali terasa di luka di kepalaku serta luka di lengan dan tubuhku akibat kebakaran di rumah Mark James. Suara air menetes datang dari suatu tempat. Perlahan-lahan, aku bisa melihat bentuk prajurit itu, yang berjarak enam atau sembilan meter. Seperti raksasa. Kami saling tatap. Pedangnya bersinar lebih terang di dunia baru ini. Matanya menyipit. Tanganku kembali mengepal. Aku sudah pernah mengangkat benda yang jauh lebih berat daripada ini. Aku juga sudah pernah membelah pohon dan menghancurkan benda. Pasti aku bisa mengimbangi kekuatannya. Aku mendorong semua yang kurasakan ke inti diriku, semua yang merupakan diriku saat ini dan semua yang merupakan diriku nanti, hingga aku merasa seolah akan meledak. “Yahhhh!” teriakku, dan aku memukul tanganku ke depan. Kekuatan meninggalkan tubuhku, menyerbu ke arah si prajurit. Pada saat yang sama, si prajurit mengayunkan pedang di depan tubuhnya seolah memukul lalat. Kekuatanku ditangkis ke pepohonan, membuat pohon-pohon menari-nari sebentar seperti rumput tertiup angin, lalu diam. Prajurit itu menertawakanku, tawanya serak dan dalam, mengejek. Mata merah si prajurit mulai berbinar, berputar seakan matanya penuh dengan lava. Prajurit itu mengangkat tangannya yang tidak memegang pedang. Aku menegangkan tubuh, bersiap menghadapi sesuatu yang tak kuduga. Lalu tanpa mengerti apa yang terjadi, leherku ada di cengkeramannya. Jarak yang memisahkan kami berdua hilang dalam sekejap mata. Prajurit itu mengangkatku dengan satu tangan. Dia bernapas dengan mulut, aku bisa mencium bau napasnya yang busuk. Aku meronta, berusaha melepaskan jari- jarinya dari leherku, tapi jari-jari itu keras bagai besi. Lalu dia melemparku. Punggungku menghantam tanah dua belas meter jauhnya. Aku berdiri. Prajurit itu menyerbu, mengayunkan pedang ke kepalaku. Aku menunduk dan melawan dengan mendorongnya sekuat mungkin. Prajurit itu terhuyung mundur tapi tetap berdiri. Aku mencoba mengangkatnya menggunakan telekinesis, namun tak terjadi apa pun. Di dunia lain ini, dunia dalam cengkeraman kekuatan kegelapan Mogadorian, kekuatanku berkurang, hampir tak berguna. Tempat ini menguntungkan si Mogadorian. Prajurit itu tersenyum melihat kegagalanku dan mengangkat pedang dengan kedua tangan. Pedang itu menjadi hidup, kilauan berwarna perak berubah menjadi biru es. Api biru menjilat-jilat bilah pedang itu. Pedang yang berkilau karena tenaga, seperti yang dikatakan Nomor Enam. Prajurit itu mengayunkan pedang ke arahku, lalu belati lain terbang dari ujungnya, lurus ke arahku. Aku bisa melakukan ini, pikirku. Aku menghabiskan berjam-jam di halaman belakang dengan Henri untuk menghadapi ini. Kami selalu menggunakan pisau, kurang lebih sama dengan belati. Apa Henri tahu para Mogadorian akan menggunakan belati? Pasti dia tahu, walaupun aku tidak pernah melihat belati di kilasan citra penyerbuan Mogadorian di Lorien. Tapi aku juga tidak pemah melihat makhluk ini. Makhluk yang kulihat di Lorien rasanya tidak seseram ini. Pada hari penyerbuan Lorien, mereka tampak sakit dan kelaparan. Apakah Bumi memulihkan kesehatan mereka? Apakah sumber daya Bumi membuat mereka menjadi lebih kuat dan lebih sehat? Belati itu benar-benar memekik saat menyerang ke arahku, membesar dan diselubungi api. Saat aku akan menangkisnya, belati itu meledak menjadi bola api, dan lidah apinya meloncat ke arahku. Aku terjebak di dalamnya. Aku diselubungi bola api. Orang lain pasti terbakar, tapi aku tidak. Lalu entah kenapa kekuatanku kembali. Aku bisa bernapas. Tanpa si prajurit ketahui, bola api itu membuatku lebih kuat. Sekarang giliranku tersenyum atas kegagalannya. “Hanya itu yang kau bisa?” teriakku. Wajah si prajurit berubah marah. Dengan sikap menantang si prajurit meraih ke belakang bahunya. Lalu muncullah sebuah senjata seperti meriam yang mulai menyatu dengan tubuhnya, membelit lengan si prajurit. Lengan dan senjata itu menjadi satu. Aku mengeluarkan pisau dari saku belakangku, pisau yang kuambil dari rumah sebelum kembali ke sekolah. Kecil, tidak berarti, tapi lebih baik daripada tidak sama sekali. Aku menghunus pisau dan berlari menyerbu. Bola api itu ikut bersamaku. Si prajurit mengambil ancang-ancang dan menghantamkan pedang sekuat tenaga. Aku menangkisnya dengan pisau saku itu, tapi berat pedang itu menyebabkan pisauku terbelah dua. Aku menjatuhkan sisa pisauku dan mengayunkan tinju sekuat mungkin. Tinjuku menghantam perut si prajurit. Dia terhuyung. Namun dia langsung tegak kembali dan mengayunkan pedang itu lagi. Aku merunduk di bawah bilah pedang pada detik terakhir. Pedang itu berdesing di atas rambutku. Meriam menyusul. Tidak ada waktu untuk bereaksi. Meriam itu menghantam bahuku. Aku mengerang dan terlempar ke belakang. Si prajurit kembali tegak dan mengacungkan meriam ke udara. Mulanya aku bingung. Warna abu-abu dari pohon ditarik dan diisap ke dalam senjata itu. Lalu aku mengerti. Senjata itu. Senjata itu harus diisi sebelum bisa ditembakkan. Senjata itu perlu mencuri sari pati Bumi agar bisa digunakan. Warna abu-abu dari pohon itu bukanlah bayangan. Warna abu-abu itu adalah nyawa pohon itu, inti Sarinya. Sekarang kehidupan pohon itu dicuri, diisap oleh para Mogadorian. Ras alien yang menghabisi sumber daya planet mereka demi kemajuan, sekarang melakukan hal yang sama di sini. Inilah alasan mengapa mereka menyerang Lorien. Alasan yang sama untuk menyerang Bumi. Satu demi satu pohon-pohon roboh dan berubah menjadi tumpukan abu. Senjata itu bersinar semakin terang, begitu terang sehingga mata terasa sakit saat memandangnya. Tidak ada waktu untuk diam. Aku menyerbu. Si prajurit tetap mengarahkan senjata itu ke langit dan mengayunkan pedang. Aku merunduk dan menubruk si prajurit. Tubuh prajurit itu menegang dan dia mengerang kesakitan. Api di sekelilingku membakarnya di tempat dia berdiri. Tapi pertahananku jadi terbuka. Prajurit itu mengayunkan pedang dengan lemah, tidak cukup kuat untuk melukaiku, tapi aku tidak bisa mengelak. Pedang menghantamku. Tubuhku terlempar lima belas meter ke belakang. Rasanya seolah disambar kilat. Aku berbaring di sana. Tubuhku gemetar seolah baru terkena setrum. Aku mengangkat kepala. Kami dikelilingi tiga puluh tumpukan debu pohon yang gugur. Berapa kali dia bisa menembak dengan itu? Angin bertiup dan debu mulai menyebar di antara kami. Bulan kembali terlihat. Dunia lain ciptaan si Mogadorian mulai runtuh. Prajurit itu tahu. Senjatanya siap. Aku berusaha berdiri. Tergeletak beberapa meter di dekatku, masih bersinar, terdapat belati yang tadi dilontarkan ke arahku. Aku memungutnya. Prajurit itu menurunkan meriam dan membidik. Warna putih yang mengelilingi kami mulai memudar, warna-warna muncul kembali. Lalu meriam itu ditembakkan. Tampak kilatan cahaya terang berisi wujud mengerikan dari orang-orang yang pernah kukenal―Henri, Sam, Bernie Kosar, Sarah―mereka semua mati di dunia lain ini. Cahaya itu begitu terang sehingga aku bisa melihat mereka semua, mencoba membawaku bersama mereka, menyerbu ke depan dalam bentuk bola energi yang semakin lama semakin besar. Aku mencoba menangkisnya, namun bola energi itu terlalu besar. Warna putih terang bola energi menghantam bola api yang mengelilingiku. Saat keduanya bersentuhan, terjadi ledakan yang menyebabkanku terlempar ke belakang. Aku mendarat dengan bergedebuk. Aku berusaha memahami kenapa aku tidak terluka. Bola api sudah padam. Entah bagaimana, bola api itu menyerap bola energi, menyelamatkanku dan kematian yang tak terhindarkan. Pasti begitulah cara meriam itu bekerja, kematian yang satu untuk kematian yang lain. Kekuatan pengendalian pikiran, memanipulasi rasa takut, yang dimunculkan dengan menghancurkan elemen-elemen di dunia. Para pengintai telah belajar melakukannya dengan pikiran mereka, walaupun efeknya lemah. Para prajurit menggunakan senjata yang menghasilkan efek yang lebih besar. Aku berdiri, masih memegang belati yang bersinar. Si prajurit menarik semacam tuas di samping meriam, tampaknya untuk mengisi meriam itu. Aku berlari ke arahnya. Begitu cukup dekat, aku membidik jantungnya dan melemparkan belati sekuat mungkin. Meriam itu meletus untuk kedua kalinya. Warna oranye menyerbu kencang ke arahku, kematian menghampiriku. Belati dan rudal itu saling melintas di udara, tanpa bersentuhan. Saat kupikir tembakan kedua itu mengenaiku, mengantarkan kematian, terjadi sesuatu yang tak terduga. Belatiku menancap duluan.