Dunia ciptaan prajurit Mogadorian itu lenyap. Dunia itu memudar. Dingin dan gelap kembali seolah tak pernah hilang. Peralihan yang memusingkan. Aku melangkah mundur dan jatuh. Mataku menyesuaikan diri dengan kurangnya cahaya. Aku menatap sosok prajurit yang gelap dan menjulang di atasku. Ledakan meriam itu tidak ikut bersama kami. Belati bersinarlah yang ikut. Belati itu menancap dalam di jantungnya, gagangnya berdenyut-denyut berwarna oranye di bawah sinar bulan. Prajurit itu terhuyung-huyung. Kemudian, belati itu masuk lebih dalam dan menghilang. Si prajurit mengerang. Darah hitam menyembur dari lukanya. Mata si prajurit menjadi kosong, lalu berputar ke dalam kepalanya. Dia jatuh ke tanah, berbaring tak bergerak, lalu meledak menjadi awan abu yang menyelimuti sepatuku. Satu prajurit. Aku sudah membunuh satu prajurit. Mungkin bukan yang terakhir. Berada di dunia lain tadi membuatku lemah. Aku meletakkan tangan di pohon terdekat untuk menenangkan diri dan menarik napas, namun pohon itu tidak lagi ada di sana. Aku memandang berkeliling. Semua pohon yang ada di sekitar kami sudah berubah menjadi tumpukan abu seperti yang terjadi di dunia lain, persis seperti para Mogadorian saat mereka mati. Aku mendengar raungan hewan buas. Kuangkat kepalaku melihat sisa-sisa bangunan sekolah yang masih berdiri. Tapi selain gedung sekolah, di tempat itu ada sesuatu yang lain, jaraknya lima meter dariku, berdiri tegak dengan pedang di tangan yang satu dan meriam di tangan yang lain. Meriam itu dibidikkan ke jantungku. Meriam itu sudah diisi, bersinar penuh kekuatan. Prajurit lain. Kurasa aku tidak punya kekuatan untuk melawan yang satu ini. Tidak ada yang bisa kulempar. Jarak di antara kami terlalu besar sehingga aku tidak mungkin berlari menyerbunya sebelum meriam itu ditembakkan. Lalu lengan si prajurit mengejang dan suara tembakan bergema di udara. Secara naluriah tubuhku tersentak, berpikir bahwa meriam itu akan membelahku jadi dua. Tapi aku baik-baik saja, tidak terluka. Aku memandang bingung. Di sana, di dahi prajurit itu, ada sebuah lubang sebesar uang logam. Darahnya yang menjijikkan menyembur dan lubang itu. Prajurit itu roboh dan hancur. “Itu untuk ayahku,” terdengar suara di belakangku. Aku berbalik. Sam, memegang pistol perak di tangan kanannya. Aku tersenyum kepadanya. Dia menurunkan senjatanya. “Mereka lewat tengah kota,” katanya. “Aku tahu itu mereka begitu melihat truknya.” Aku berusaha menarik napas, memandang kagum ke arah Sam. Sesaat sebelumnya, dalam bola energi si prajurit pertama, aku melihat Sam dalam wujud mayat membusuk yang bangkit dari kegelapan neraka untuk membawaku. Dan sekarang Sam menyelamatkanku. “Kau baik-baik saja?” tanyanya. Aku mengangguk. “Kau datang dari mana?” “Aku membuntuti dengan truk ayahku setelah mereka melewati rumahku. Aku masuk sekitar lima belas menit yang lalu. Namun kemudian aku dikerumuni para Mogadorian yang sudah ada di sini. Jadi aku pergi dan parkir di tanah lapang sekitar satu kilometer dari sini, lalu berjalan menembus hutan.” Lampu mobil kedua yang tadi kami lihat dari jendela di sekolah ternyata berasal dari truk Sam. Aku membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi guntur mengguncang langit. Badai mulai terbentuk. Aku merasa lega karena itu berarti Nomor Enam masih hidup. Kilat menyambar membelah langit. Awan mulai berdatangan dari segala penjuru, berkumpul membentuk satu awan besar. Hari menjadi semakin gelap. Lalu turunlah hujan yang begitu lebat sehingga aku harus memicingkan mata agar bisa melihat Sam yang berada 1,5 meter dariku. Sekolah tampak seperti terselubungi badai. Lalu sebuah kilat besar menyambar. Sesaat dunia tampak terang. Lalu aku melihat hewan buas Mogadorian disambar kilat. Raungan kesakitan terdengar. “Aku harus kembali ke sekolah!” teriakku. “Mark dan Sarah ada di suatu tempat di dalam sana.” “Kalau kau pergi, aku juga pergi,” jawab Sam sambil berteriak mengatasi gemuruh badai. Kami berjalan tidak lebih dari lima langkah sebelum akhirnya angin bertiup menderu, mendorong kami ke belakang. Hujan lebat menyengat wajah kami. Kami basah kuyup, menggigil, dan kedinginan. Tapi jika aku menggigil, itu artinya aku hidup. Sam berlutut, lalu tiarap agar tidak diterbangkan angin ke belakang. Aku melakukan yang sama. Dengan mata terpicing aku melihat awan―berat, gelap, mengerikan―berputar dalam lingkaran kecil. Di bagian tengah awan itu―yang kulihat dengan susah payah―sebuah wajah mulai terbentuk. Wajah itu tua, berkeriput, berjanggut, dan tenang seolah sedang tidur. Wajah yang tampak lebih tua daripada Bumi. Awan semakin rendah, perlahan-lahan turun mendekati tanah dan mengisap segalanya. Dunia menjadi gelap, begitu gelap dan tak bisa ditembus cahaya sehingga sulit membayangkan bahwa di suatu tempat di sana rnasih ada matahari. Raungan lagi. Raungan kemarahan dan malapetaka. Aku mencoba berdiri tapi langsung dihantam angin. Anginnya terlalu besar. Wajah itu. Wajah itu mulai hidup. Bangun. Matanya membuka. Wajah itu menyeringai. Apa itu awan buatan Nomor Enam? Wajah itu tampak bagaikan perwujudan kemurkaan, perwujudan balas dendam. Turun dengan cepat. Segala sesuatu seolah di ujung tanduk. Lalu mulut awan itu membuka, lapar, menarik bibirnya sehingga giginya tampak, dan matanya dipicingkan dengan penuh kebencian. Kemurkaan luar biasa. Lalu wajah itu menyentuh tanah. Ledakan sonik menggetarkan tanah. Ledakan itu mengenai sekolah. Dunia tampak terang dengan cahaya merah, oranye, dan biru. Aku terlempar ke belakang. Pepohonan patah jadi dua. Tanah bergetar. Aku mendarat dengan bergedebuk. Dahan-dahan dan lumpur menimpaku. Telingaku berdenging begitu keras. Ledakan itu begitu kuat sehingga pastilah terdengar hingga delapan puluh kilometer. Kemudian hujan berhenti. Segalanya hening. Aku berbaring di lumpur, mendengarkan detak jantungku. Awan menyingkir, memperlihatkan bulan. Tidak ada embusan angin sedikit pun. Aku memandang berkeliling tapi tidak melihat Sam. Aku berteriak memanggilnya tapi tak ada jawaban. Aku berusaha mendengar sesuatu, apa pun itu―raungan lain atau senapan Henri. Namun, tidak terdengar apa pun. Aku bangkit dari tanah, membersihkan lumpur dan ranting-ranting sebisa mungkin dan keluar dari hutan. Bintang-bintang bermunculan kembali, jutaan bintang berkelap-kelip tinggi di langit malam. Apakah sudah berakhir? Apakah kami menang? Atau ini hanyalah ketenangan sesaat? Sekolah, pikirku. Aku harus kembali ke sekolah. Aku melangkah ke depan, dan saat itu aku mendengarnya. Raungan lain, datang dari hutan di belakangku. Aku mendengar suara tembakan membelah malam, bergaung begitu rupa sehingga aku tidak bisa menduga dari mana asalnya. Aku berharap dengan segenap hatiku bahwa suara itu berasal dari senapan Henri, bahwa dia masih hidup, masih melawan. Tanah mulai bergetar. Hewan buas berlari, ke arahku, tidak salah lagi. Pohon-pohon hancur dan direnggut dari akarnya di belakangku. Hewan-hewan itu tampaknya tidak memelankan larinya. Apakah hewan ini lebih besar dari yang satu itu? Aku tidak ingin tahu. Aku berlari ke sekolah. Namun kemudian aku sadar bahwa itu tempat terburuk yang bisa kutuju. Sarah dan Mark rnasih di dalam, rnasih bersembunyi. Atau setidaknya kuharap begitu. Segalanya kembali seperti sebelum badai. Kegelapan mengikuti, menghampiri. Para pengintai. Para prajurit. Aku berbelok ke kanan dan berlari di sepanjang jalan dengan pohon di pinggirnya yang mengarah ke lapangan football. Hewan buas itu membuntuti jejakku. Apa aku bisa melarikan diri darinya? Jika bisa mencapai hutan di seberang lapangan ini, mungkin aku bisa. Aku kenal hutan itu. Hutan itu mengarah ke rumah kami. Aku memiliki keuntungan di dalam hutan itu karena aku mengenalnya. Aku memandang berkeliling dan melihat sosok para Mogadorian di halaman sekolah. Jumlah rnereka terlalu banyak. Kami kalah jumlah, jauh. Apa kami pernah benar-benar yakin bisa menang? Sebuah belati terbang melewatiku. Kilatan warna merah meleset hanya beberapa senti dari wajahku. Belati itu menancap di batang pohon di sampingku dan pohon itu terbakar. Raungan lagi. Hewan itu menyusul. Di antara kami, siapa yang lebih kuat? Aku masuk ke stadion, berlari melintasi tengah lapangan. Pisau lain berdesing di sampingku, kali ini biru. Hutan sudah dekat. Saat akhirnya berlari kencang ke dalam hutan, aku tersenyum. Aku memancing hewan itu menjauhi yang lain. Jika yang lain aman, tugasku selesai. Saat rasa kemenangan mekar di dadaku, belati ketiga menancap. Aku jatuh ke lumpur dengan wajah terlebih dahulu. Aku bisa merasakan belati menancap di antara tulang belikatku. Rasanya begitu sakit sehingga aku lumpuh. Kucoba meraih belati itu untuk mencabutnya, namun letaknya terlalu tinggi. Belati itu terasa seolah bergerak, masuk lebih dalam. Rasa sakitnya menyebar seolah aku diracuni. Perutku, sakit sekali. Aku tidak bisa mencabut belati itu dengan telekinesis. Entah kenapa kekuatanku seakan hilang. Aku mulai merangkak maju. Salah satu prajurit―atau mungkin itu pengintai, aku tidak tahu―menginjak punggungku, membungkuk, dan mencabut belati. Aku mengerang. Belati itu hilang, tapi rasa sakitnya tetap ada. Si Mogadorian mengangkat kakinya dan punggungku. Aku masih bisa merasakan keberadaannya dan berusaha telentang untuk menghadapinya. Prajurit lain, berdiri menjulang dan tersenyum penuh rasa benci. Wajah yang sama seperti prajurit sebelumnya. Pedang yang serupa. Belati yang tadi menancap di punggungku sekarang ada dalam genggamannya. Belati itulah yang tadi kurasakan. Belati itu berputar saat menancap dalam dagingku. Aku mengangkat tangan ke depan ke arah si prajurit untuk memindahkannya, tapi aku tahu itu sia-sia. Aku tidak bisa berkonsentrasi, segalanya tampak kabur. Si prajurit mengacungkan pedang ke udara. Seakan mengecap kematian, pedang itu mulai bercahaya dengan latar belakang kegelapan malam. Aku akan mati, pikirku. Tak ada yang bisa kulakukan. Aku memandang mata si prajurit. Sepuluh tahun melarikan diri. Betapa mudahnya ini berakhir. Betapa sepinya. Tapi di belakang si prajurit ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih ganas daripada sejuta prajurit dengan sejuta pedang. Panjang setiap giginya sama dengan tinggi si prajurit. Gigi-geligi putih berkilau dalam mulut yang terlalu kecil untuk menampung semua gigi itu. Hewan besar dengan mata jahatnya menjulang di atas kami. Napasku tercekat menyakitkan di tenggorokan. Mataku melotot karena ngeri. Hewan itu akan menghabisi kami berdua, pikirku. Si prajurit tidak sadar. Prajurit itu menyeringai ke arahku. Tubuhnya tegang saat mulai mengayunkan pedang itu ke bawah untuk membelahku menjadi dua. Tapi gerakannya terlalu lambat. Hewan buas itu lebih dulu menyerangnya. Rahang si hewan buas mengatup bagai perangkap beruang. Hewan buas itu tidak berhenti hingga seluruh gigi-geliginya mengatup. Tubuh si prajurit terbelah dua tepat di bawah pinggulnya, hanya menyisakan sepasang kaki yang masih berdiri tegak. Hewan buas itu mengunyah dua kali dan menelan. Kaki si prajurit jatuh bergedebuk ke tanah, yang satu jatuh ke kanan, yang lainnya jatuh ke kiri, dan langsung berubah jadi abu. Aku mengumpulkan segenap kekuatan untuk meraih dan merenggut belati yang jatuh di kakiku. Aku menyelipkan belati itu ke pinggang celana jinsku dan mulai merangkak menjauh. Aku merasakan hewan buas itu berdiri menjulang di atasku. Aku bisa merasakan napasnya di tengkukku. Bau kematian dan daging busuk. Aku tiba di tempat terbuka kecil dalam hutan. Menunggu kemurkaan hewan buas. Menanti saat gigi dan cakarnya mencabik-cabik tubuhku. Aku menarik diriku ke depan hingga tidak bisa bergerak lagi. Kusandarkan punggungku ke pohon ek. Hewan buas itu berdiri di tengah-tengah lapangan, sembilan meter dariku. Untuk pertama kalinya, aku menatap hewan buas itu dengan saksama. Sosok gelap, tampak kabur di malam yang dingin dan gelap. Lebih tinggi dan lebih besar daripada hewan buas yang tadi ada di sekolah. Tingginya dua belas meter, berdiri tegak dengan kedua kaki belakangnya. Kulit tebal dan berwarna abu-abu membalut otot yang menonjol. Hewan itu tak berleher. Kepalanya condong ke depan sehingga rahang bawahnya lebih maju daripada rahang atasnya. Sepasang taringnya mengarah ke langit. Sepasang taring lain mengarah ke tanah, meneteskan darah dan liur. Lengan yang panjang dan besar tergantung 30 atau 60 senti di atas tanah saat hewan itu berdiri tegak, membuatnya terkesan bungkuk. Matanya berwarna kuning. Lingkaran-lingkaran di samping kepalanya berdenyut sesuai denyut jantungnya, satu-satunya tanda bahwa hewan itu memiliki jantung. Hewan itu mencondongkan tubuh ke depan sehingga tangan kirinya menyentuh tanah. Sebuah tangan dengan jari-jari gemuk pendek dan cakar elang, berfungsi untuk mencabik apa pun yang disentuhnya. Hewan itu mengendusku, lalu meraung. Raungan yang memekakkan telinga dan bisa membuatku terdorong ke belakang jika saja tidak ada pohon di belakangku. Mulutnya membuka, memperlihatkan sekitar lima puluh lebih gigi-geligi, yang masing- masingnya sangat tajam. Tangannya yang satu lagi diayunkan dan menyebabkan semua pohon, sekitar sepuluh atau lima belas pohon, terbelah. Tidak bisa melarikan diri lagi. Tidak bisa bertempur lagi. Darah dari luka akibat belati mengalir menuruni punggungku. Tangan dan kakiku gemetar. Belati itu masih terselip di pinggang celana jinsku, tapi buat apa meraihnya? Bagaimana mungkin sebuah belati sepanjang sepuluh senti bisa melawan seekor hewan buas setinggi dua belas meter? Belati itu hanya seperti serpihan kayu bagi hewan itu. Belati itu hanya akan membuat hewan itu semakin marah. Harapanku satu- satunya hanyalah mati kehabisan darah sebelum dibunuh dan dimakan. Aku menutup mata menyambut kematian. Cahayaku padam. Aku tidak mau melihat apa yang akan terjadi. Aku mendengar gerakan di belakangku dan membuka mata. Pastilah salah satu Mogadorian mendekat agar bisa melihat lebih baik, pikirku. Namun kemudian aku tahu dugaanku salah. Aku merasa kenal dengan cara berjalannya yang melompat- lompat. Aku merasa kenal dengan suara napasnya. Lalu sesuatu itu muncul. Bernie Kosar. Aku tersenyum. Namun senyumku langsung pudar. Jika aku akan mati, tidak ada gunanya jika Bernie Kosar juga mati. Jangan, Bernie Kosar. Jangan ke sini. Kau harus pergi. Lari secepat mungkin. Pergi sejauh mungkin dari sini. Anggap saja kau baru selesai lari pagi denganku ke sekolah. Ini saatnya pulang ke rumah. Bernie Kosar memandangku sambil berjalan. Aku di sini, Bernie Kosar seakan berkata seperti itu. Aku di sini dan aku akan mendampingimu. “Tidak,” kataku keras-keras. Bernie Kosar berhenti cukup lama untuk menjilat tanganku, menenangkan. Dia memandangku dengan matanya yang besar dan cokelat. Pergi, John, aku mendengar suara di benakku. Jika perlu, merangkaklah. Tapi kau harus pergi sekarang juga. Kehilangan darah membuatku berkhayal. Bernie seolah berbicara denganku. Apakah Bernie Kosar benar-benar ada di sini, atau aku hanya berkhayal? Bernie Kosar berdiri di depanku seakan ingin melindungiku. Dia mulai menggeram, awalnya pelan, tapi semakin lama geramannya semakin besar dan semakin ganas seperti raungan si hewan buas itu. Hewan buas itu menatap Bernie Kosar. Menunduk menatap Bernie Kosar. Bulu-bulu di tengah punggung Bernie Kosar berdiri. Telinganya yang cokelat menempel di kepalanya. Kesetiaannya, keberaniannya hampir membuatku menangis. Tubuhnya ratusan kali lebih kecil daripada si hewan buas itu, namun dia berdiri dengan gagah, bersumpah untuk melawan. Cukup sapuan cepat si hewan buas, dan segalanya akan berakhir. Aku mengulurkan tangan ke arah Bernie Kosar. Seandainya aku bisa berdiri dan meraih lalu membawanya pergi. Geraman Bernie Kosar begitu ganas sehingga seluruh tubuhnya bergetar. Lalu sesuatu mulai terjadi. Bernie Kosar mulai membesar.