SETELAH BEGITU LAMA, BARU SEKARANG AKU mengerti. Ketika kami lari pagi, saat aku berlari terlalu cepat sehingga Bernie Kosar tak bisa mengimbangi. Kenapa dia menghilang ke dalam hutan dan beberapa detik kemudian muncul kembali di depanku. Itu yang tadi ingin dikatakan Nomor Enam. Nomor Enam langsung tahu begitu melihatnya. Saat kami lari pagi, Bernie Kosar masuk ke dalam hutan dan berubah wujud menjadi burung. Caranya bergegas ke luar setiap pagi, mengendus tanah, berpatroli di halaman. Melindungiku, dan Henri. Mencari tanda-tanda Mogadorian. Cecak di Florida. Cecak yang biasa memandangi dari dinding saat aku sarapan. Sudah berapa lama dia bersama kami? Chimæra, hewan yang kulihat dimasukkan ke dalam roket kedua―apakah mereka berhasil mencapai Bumi? Bernie Kosar terus membesar. Dia menyuruhku lari. Aku bisa berkomunikasi dengannya. Bukan. Bukan hanya itu. Aku bisa berkomunikasi dengan semua hewan. Pusaka lain. Sejak kejadian dengan rusa di Florida pada hari ketika kami pergi. Bulu kudukku meremang saat rusa itu menyampaikan sesuatu kepadaku, suatu kilasan perasaan. Waktu itu aku mengira perasaan itu disebabkan rasa sedih karena harus pergi, tapi aku salah. Anjing-anjing Mark James. Sapi-sapi yang kulewati saat lari pagi. Sama. Aku merasa begitu bodoh karena baru menyadarinya sekarang. Padahal begitu jelas, tepat di depan hidungku. Seperti pepatah yang biasa diucapkan Henri: Sesuatu yang tampak sangat jelas adalah sesuatu yang sering kali kita abaikan. Tapi Henri tahu. Itu sebabnya Henri melarang Enam memberitahuku. Bernie Kosar sudah selesai membesar. Rambutnya rontok, digantikan sisik-sisik. Dia tampak seperti naga, tapi tanpa sayap. Otot-otot bertonjolan di tubuhnya. Gigi dan cakar bergerigi, dengan tanduk melingkar seperti tanduk biri-biri jantan. Lebih gemuk daripada hewan buas itu, tapi jauh lebih pendek. Dia tampak sangat ganas. Dua raksasa berhadapan di tempat terbuka, saling meraung. Lari, katanya. Aku berusaha memberitahunya bahwa aku tidak bisa. Aku tidak tahu apakah dia bisa memahamiku. Kau bisa, katanya. Harus. Hewan buas Mogadorian itu mengayunkan tangan, pukulan yang seakan berawal dari langit dan meroket turun dengan brutal. Bernie Kosar menahan pukulan si hewan buas dengan tanduknya, lalu menerjang sebelum hewan itu bisa mengayunkan tinju lagi. Mereka bertabrakan keras di tengah-tengah lapangan. Bernie Kosar memukul ke atas, menancapkan giginya di samping tubuh lawanya. Hewan buas itu balas memukulnya. Mereka berdua bergerak sangat cepat sehingga tak terlihat jelas. Tubuh mereka berdua luka-luka. Aku menonton dengan punggung bersandar ke pohon. Aku ingin membantu, tapi telekinesisku masih tidak berfungsi. Darah masih mengalir di punggungku. Tangan dan kakiku terasa berat. Darahku seakan berubah jadi timah. Aku bisa merasakan kesadaranku memudar. Hewan buas Mogadorian berdiri dengan dua kaki sementara Bernie Kosar bertarung dengan empat kaki. Dia menyerbu. Bernie Kosar menundukkan kepala. Mereka bertubrukan, menabrak pohon di kananku. Entah bagaimana, hewan buas itu ada di atas Bernie Kosar. Dia menghunjamkan giginya dalam-dalam ke leher Bernie Kosar, menggoyang-goyangkan kepala, berusaha mencabik leher Bernie Kosar. Bernie Kosar menggeliat di bawah gigitannya, tapi tidak bisa membebaskan diri. Bernie Kosar mencakar-cakar lawannya, tapi hewan buas itu tetap tidak melepaskan gigitannya. Lalu sebuah tangan meraih dari belakangku, memegang lenganku. Aku berusaha menepisnya, tapi tak kuasa. Mata Bernie Kosar menutup rapat. Dia menggeliat di bawah rahang si hewan buas, tenggorokannya tertarik, tidak bisa bernapas. “Tidak!” teriakku. “Ayo!” teriak seseorang di belakangku. “Kita harus pergi dari sini.” “Bernie Kosar,” kataku, tidak tahu suara siapa itu. “Bernie Kosar!” Bernie Kosar digigit dan dicekik. Dia sekarat. Tapi aku tidak bisa melakukan apa pun. Dan aku pun akan segera menyusulnya. Aku rela mengorbankan nyawaku demi nyawanya. Aku melolong pilu. Bernie Kosar menoleh memandangku. Wajahnya mengernyit karena sakit, menderita, dan juga karena merasakan ajalnya segera tiba. “Kita harus pergi!” teriak suara di belakangku, tangannya menarikku berdiri. Bernie Kosar menatap mataku. Pergi, katanya. Pergi dari sini, sekarang, selagi bisa. Tak banyak waktu. Entah bagaimana aku meraih kakiku. Pusing, dunia di sekelilingku tampak kabur. Hanya mata Bernie Kosar yang tetap tampak jelas. Matanya menjerit “Tolong!” meskipun pikirannya berkata lain. “Kita harus pergi!” kata suara itu lagi. Aku tidak menoleh untuk melihat, tapi aku tahu suara siapa itu. Mark James. Dia tidak lagi bersembunyi di sekolah, dan berupaya menyelamatkanku dari kehancuran ini. Mark ada di sini. Itu berarti Sarah baik-baik saja. Untuk sesaat aku merasa lega, tapi perasaan itu langsung lenyap. Saat ini hanya ada satu hal penting. Bernie Kosar, berbaring miring, memandangku dengan tatapan kosong. Dia menyelamatkanku. Sekarang giliranku menyelamatkannya. Mark mengulurkan tangan ke depan dadaku. Dia menarikku ke belakang, pergi dari lapangan, menjauhi pertempuran. Aku meronta membebaskan diri. Mata Bernie Kosar perlahan-lahan mulai menutup. Dia akan pergi, pikirku. Aku tidak mau melihatmu mati, kataku. Aku bersedia melihat apa pun di dunia ini, tapi aku tidak mau melihatmu mati. Tidak ada jawaban. Gigitan si hewan buas semakin kencang. Bernie Kosar bisa merasakan maut mendekat. Aku melangkah terhuyung-huyung, menarik belati dari pinggang celana jinsku. Aku memegang belati itu erat. Belati itu hidup dan mulai bersinar. Aku tidak akan bisa melemparkan belati ke tubuh si hewan buas. Aku juga tidak bisa menggunakan Pusakaku. Pilihan yang mudah. Tidak ada pilihan selain menyerang. Aku menarik napas dalam dengan bergetar. Kuayunkan tubuh ke belakang. Seluruh tubuhku tegang, nyeri karena kelelahan. Setiap bagian tubuhku terasa sakit. “Tidak!” teriak Mark di belakangku. Aku menyerbu ke depan, berlari ke arah si hewan buas. Mata si hewan buas Mogadorian itu tertutup. Rahangnya mencengkeram tenggorokan Bernie Kosar. Darah di sekitarnya tampak berkilauan di bawah sinar bulan. Sembilan meter lagi. Enam meter. Mata si hewan buas terbuka tepat saat aku melompat. Mata kuning itu murka begitu melihatku. Aku terbang di udara sambil memegang belati tinggi di atas kepala dengan kedua tangan, seperti dalam suatu mimpi heroik yang kuharap tidak pernah berakhir. Si hewan buas melepaskan leher Bernie Kosar dan bergerak untuk menggigitku, walaupun tahu bahwa dia terlambat menyadari keberadaanku. Bilah belati itu bersinar menyambut apa yang akan terjadi. Aku menghunjamkannya ke mata si hewan buas dalam- dalam. Cairan langsung muncrat dan dia pun mengeluarkan lolongan sangat keras yang membekukan darah. Kurasa mereka yang sudah mati pun bisa terbangun karenanya. Aku jatuh telentang. Saat kuangkat kepala, hewan buas itu terhuyung-huyung di atasku. Dengan sia-sia dia berusaha menarik belati dari matanya, tapi tangannya terlalu besar dan belati itu terlalu kecil. Senjata Mogadorian berfungsi dengan suatu cara yang kurasa tak akan pernah kupahami, karena ada gerbang mistik antardunia. Belati itu juga sama. Luka yang disebabkan belati itu menarik kegelapan memasuki mata si hewan buas dalam bentuk pusaran awan, angin topan kematian. Si hewan buas terdiam saat awan hitam besar terakhir berpusar masuk ke dalam tengkoraknya bersama belati itu. Lengannya tergantung lunglai di samping badannya. Tangannya mulai bergetar. Getaran itu begitu hebat sehingga membuat seluruh tubuhnya yang besar berguncang. Saat getaran itu berhenti, si hewan buas terhuyung lalu jatuh dengan punggung menubruk pepohonan. Dia terduduk, tapi tetap menjulang sekitar dua puluh lima meter di atasku. Segalanya hening, seakan menanti apa yang akan terjadi. Terdengar bunyi senapan ditembakkan satu kali, sangat dekat sehigga telingaku berdenging. Hewan buas itu menarik napas dan menahannya seolah bermeditasi. Tiba-tiba kepalanya meledak, menghujani segala yang ada di sekitarnya dengan serpihan otak, daging, dan tengkorak, yang langsung berubah menjadi debu dan abu. Hutan sunyi senyap. Aku berpaling dan memandang Bernie Kosar. Dia masih terbaring miring tak bergerak. Matanya tertutup. Aku tidak tahu apakah dia masih hidup. Saat aku memandangnya, Bernie Kosar berubah wujud lagi, mengecil ke ukuran normalnya, tapi tetap tak bergerak. Terdengar bunyi derak dedaunan dan gemeretak ranting-ranting di dekatku. Aku harus mengerahkan seluruh kekuatan hanya untuk mengangkat kepala dua senti dari tanah. Kubuka mata dan mengintip ke kegelapan malam, berharap melihat Mark James. Tapi bukan Mark James yang berdiri di dekatku. Napasku tercekat. Sosok gelap, tidak tampak jelas di bawah sinar bulan. Lalu sosok itu melangkah ke depan, menutupi bulan. Mataku membelalak ngeri. *** SOSOK SAMAR ITU SEMAKIN JELAS. AKU MERASA lelah, sakit, dan ngeri. Namun akhirnya aku tersenyum, merasa lega. Henri. Dia melemparkan senapan ke semak-semak lalu berlutut di sampingku. Wajahnya berdarah, kemeja dan jinsnya compang- camping, terkoyak di sepanjang kedua lengan dan lehernya, namun matanya berpendar ngeri saat melihat luka-luka di tubuhku. “Sudah berakhir?” tanyaku. “Sstt,” katanya. “Apa salah satu belati mereka mengenaimu?” “Punggungku,” kataku. Henri menutup mata dan menggelengkan kepala. Dia merogoh saku dan mengeluarkan sebuah kerikil bundar kecil yang tadi diambilnya dari Peti Loric sebelum kami meninggalkan kelas tata boga. Tangannya gemetar. “Buka mulutmu,” katanya. Henri memasukkan batu itu. “Tahan di bawah lidah. Jangan ditelan.” Henri meletakkan tangannya di bawah ketiakku dan mengangkat tubuhku. Aku berdiri. Henri memegangiku hingga aku bisa berdiri dengan seimbang. Dia memutar tubuhku untuk melihat luka di punggungku. Wajahku terasa hangat. Sepertinya batu itu menyembuhkanku. Kaki dan tanganku sakit karena lelah, tapi kekuatanku pulih. “Apa ini?” “Garam Loric. Memperlambat dan mengurangi efek belati itu,” kata Henri. “Kau akan merasa bertenaga, tapi itu tidak bertahan lama. Kita harus kembali ke sekolah secepat mungkin.” Kerikil itu terasa dingin di mulutku, tidak asin seperti garam―sebenarnya malah tidak berasa sama sekali. Aku menunduk dan berusaha memaharni apa yang terjadi, kemudian mengibaskan sisa-sisa abu si hewan buas yang mati. “Apa semuanya baik-baik saja?” tanyaku. “Nomor Enam luka parah,” jawab Henri. “Sam sedang membawanya ke truk. Kemudian Sam akan menyetir truk ke sekolah untuk menjemput kita semua. Jadi, kita harus kembali ke sana.” “Kau lihat Sarah?” “Tidak” “Mark James tadi di sini,” kataku, lalu memandang Henri. “Kupikir kau itu dia.” “Aku tak melihatnya.” Aku melihat Bernie Kosar di belakang Henri. “Bernie Kosar,” kataku. Bernie Kosar masih mengerut, sisik- sisiknya menghilang―digantikan bulu berwarna cokelat dan hitam―kembali ke wujud yang langsung aku kenali. Telinga terkulai, kaki pendek, tubuh panjang. Anjing beagle dengan hidung dingin dan basah yang selalu siap untuk lari. “Dia menyelamatkan nyawaku. Kau sudah tahu, ya?” “Tentu saja aku tahu.” “Kenapa nggak bilang?” “Karena dia mengawasimu saat aku tidak bisa.” “Tapi kenapa dia ada di sini?” “Dia ikut naik pesawat bersama kita.” Lalu aku teringat benda yang dulu kusangka boneka, mainanku. Sebenarnya aku bermain dengan Bernie Kosar, walaupun dulu namanya Hadley. Kami berjalan menghampiri anjing itu. Aku berjongkok dan mengusap samping tubuh Bernie Kosar. “Kita harus cepat,” kata Henri lagi. Bernie Kosar tidak bergerak. Hutan itu hidup, dikerumuni kegelapan. Artinya hanya satu, tapi aku tak peduli. Aku menggerakkan tangan ke dada si anjing. Walaupun lemah, aku bisa mendengar jantungnya berdetak. Masih ada kehidupan, walaupun samar. Tubuh Bernie Kosar penuh dengan luka, darah merembes dari segala tempat. Kaki depannya bengkok tidak wajar, patah. Tapi dia masih hidup. Aku mengangkat Bernie Kosar selembut mungkin, menggendongnya seperti menimang bayi. Henri membantuku berdiri. Lalu dia merogoh saku, mengambil kerikil garam lain, dan memasukkannya ke dalam mulut. Aku bertanya-tanya apakah dia berbicara mengenai dirinya sendiri saat mengatakan tidak banyak waktu. Kami berdua berdiri goyah. Lalu aku melihat sesuatu di paha Henri. Luka berwarna biru tua berkilau dan dikelilingi darah. Henri juga ditikam belati prajurit Mogadorian. Aku bertanya- tanya apakah kerikil garam itu satu-satunya yang membuat Henri berdiri, seperti halnya diriku. “Senapannya?” tanyaku. “Pelurunya habis.” Kami berjalan meninggalkan tempat terbuka itu, dengan perlahan. Bernie Kosar tidak bergerak di tanganku, tapi aku bisa merasakan kehidupan belum meninggalkannya. Belum. Kami keluar dari hutan, meninggalkan ranting-ranting yang bergantungan, semak-semak, serta bau daun basah dan membusuk di belakang kami. “Bisa lari?” tanya Henri. “Nggak,” kataku. “Tapi aku akan tetap lari.” Terdengar keributan di depan kami, sejumlah geraman diikuti gemerincing rantai. Lalu kami mendengar raungan, tidak seganas raungan yang lain, tapi cukup keras sehingga kami tahu artinya hanya satu: hewan buas lain. “Yang benar saja,” kata Henri. Ranting patah di belakang kami, dari hutan. Henri dan aku menoleh ke belakang, tapi hutan itu terlalu lebat sehingga kami tidak bisa melihat. Aku menyalakan sinar di tangan kiriku dan menyorotkannya ke pepohonan. Sekitar tujuh atau delapan prajurit berdiri di tepi hutan. Saat sinarku mengenai mereka, mereka langsung menghunuskan pedang, yang menjadi hidup dan bersinar dengan berbagai warna.