“Jangan!” teriak Henri. “Jangan gunakan Pusakamu, nanti kau jadi lemah.” Terlambat. Kupadamkan sinarku, tapi aku kembali merasa pusing dan lemah, serta sakit. Aku menahan napas, menunggu para prajurit berlari menyerbu ke arah kami. Tapi mereka tidak bergerak. Tidak terdengar suara lain selain suara hewan buas yang tak sabar untuk dilepas dari rantainya di depan kami. Lalu di belakang terdengar suara pekikan perang. Aku berpaling untuk melihat. Pedang-pedang Mogadorian mulai berkilauan dihunus para prajurit di belakang kami dan bergerak maju. Salah satu prajurit tertawa percaya diri. Sembilan prajurit bersenjata dan kuat melawan kami bertiga yang sudah kepayahan, luka- luka, serta tak memiliki senjata selain keberanian kami. Hewan buas di satu arah, para prajurit di arah yang lain. Itulah pilihan yang kami hadapi saat ini. Henri tampak tenang. Dia mengeluarkan dua kerikil dari sakunya dan memberikan satu untukku. “Yang terakhir,” katanya, suaranya bergetar. Tampaknya dia harus mengerahkan banyak tenaga hanya untuk berbicara. Aku memasukkan kerikil itu ke dalam mulut dan menahannya di bawah lidahku, walaupun sisa kerikil pertama masih ada. Kekuatan baru menjalari tubuhku. “Bagaimana menurutmu?” tanya Henri. Kami terkepung. Henri, Bernie Kosar, dan aku adalah yang tersisa dari kami semua. Nomor Enam luka parah dan dibawa pergi oleh Sam. Tadi Mark ada di sini, tapi sekarang dia tidak ada di mana pun. Yang tersisa hanyalah Sarah. Kuharap dia bersembunyi dengan aman di sekolah yang jaraknya sekitar dua ratus meter di depan kami. Aku menarik napas dalam dan menerima yang tak terhindarkan. “Tak masalah, Henri,” kataku sambil memandangnya. “Tapi sekolah di depan kita, dan sebentar lagi Sam tiba di sana.” Apa yang Henri lakukan selanjutnya membuatku kaget: dia tersenyum. Henri mengulurkan tangan dan meremas bahuku. Matanya lelah dan merah, tapi aku melihat rasa lega, rasa tenang seolah dia tahu segalanya akan segera berakhir. “Kita sudah melakukan apa yang bisa kita lakukan. Yang terjadi, terjadilah. Yang jelas, aku benar-benar bangga kepadamu,” katanya. “Tindakanmu hari ini luar biasa. Aku tahu kau pasti bisa. Selalu. Tak pernah sekali pun aku ragu.” Aku menundukkan kepala. Aku tidak mau Henri melihatku menangis. Aku meremas Bernie Kosar. Sejak aku menggendongnya, baru kali ini Bernie Kosar memperlihatkan tanda-tanda kehidupan. Dia mengangkat kepala cukup tinggi sehingga bisa menjilat wajahku, dan menyampaikan satu kata kepadaku. Hanya satu kata. Seakan tenaganya hanya cukup untuk itu. Keberanian. Kuangkat kepalaku. Henri melangkah ke depan dan memelukku. Aku menutup mata dan membenamkan wajahku di lehernya. Henri masih gemetar, tubuhnya terasa rapuh dan lemah di pelukanku. Aku yakin tubuhku pun tidak lebih kuat. Ini dia, pikirku. Kami akan berjalan melintasi lapangan dengan gagah menuju apa pun yang ada di sana. Setidaknya kami melakukannya dengan bermartabat. “Tindakanmu sangat hebat,” kata Henri. Aku membuka mata. Dari balik bahu Henri, aku melihat para prajurit berjalan mendekat. Jarak mereka sekarang hanya enam meter. Mereka berhenti. Salah satu dari mereka memegang belati yang berdenyut-denyut dengan warna perak dan abu- abu. Prajurit itu melemparkan belati itu ke udara, menangkapnya, lalu melemparkannya ke punggung Henri. Aku mengangkat tangan dan menangkis belati itu. Belati itu meleset sekitar tiga meter. Kekuatanku langsung hilang walaupun kerikil di mulutku baru larut setengahnya. Henri memegang tanganku yang bebas dan mengalungkannya ke pundaknya, lalu memegang pinggangku dengan tangan kanannya. Kami melangkah dengan terhuyung-huyung. Hewan buas itu mulai tampak, berdiri di hadapan kami, di tengah- tengah lapangan football. Para Mogadorian membuntuti kami. Mungkin mereka ingin melihat hewan buas beraksi, melihat hewan buas membunuh. Setiap kali melangkah tenagaku semakin berkurang. Jantung di dadaku berdegup. Ajal segera tiba. Aku takut. Tapi Henri di sini. Juga Bernie Kosar. Aku senang karena tidak perlu menghadapinya sendiri. Beberapa prajurit berdiri di samping si hewan buas. Bahkan seandainya kami bisa melewati si hewan buas, setelahnya masih ada para prajurit, yang berdiri dengan pedang terhunus. Tidak ada pilihan lain. Kami sampai di lapangan. Aku pikir hewan itu akan menerkam kami kapan saja. Tapi tidak terjadi apa-apa. Saat tinggal lima belas meter lagi dari si hewan buas, kami berhenti. Kami berdiri saling bersandar. Ukuran hewan buas itu hanya setengah dari hewan buas yang lain, namun masih cukup besar untuk membunuh kami semua tanpa perlu menghabiskan banyak tenaga. Kulitnya pucat, hampir transparan, menutupi tulang rusuk dan sendi-sendi yang menonjol. Ada banyak bekas luka berwarna merah muda di lengan dan samping badannya. Matanya putih dan buta. Hewan itu memindahkan berat badannya, lalu merunduk. Kemudian dia menundukkan kepala ke rumput untuk membaui apa yang tidak bisa dia lihat dengan matanya. Hewan itu bisa merasakan kami di depannya dan menggeram. Aku tidak merasakan kemarahan dan kedengkian seperti pada hewan buas lainnya, tidak ada rasa haus terhadap darah dan kematian. Yang kurasakan hanyalah rasa takut, rasa sedih. Aku membuka diriku terhadap perasaan itu. Aku melihat penyiksaan dan kelaparan. Aku melihat hewan buas itu dikurung sepanjang hidupnya di Bumi, di gua yang lembap dan gelap. Menggigil sepanjang malam agar tetap hangat, selalu dingin dan basah. Aku melihat para Mogadorian mengadu hewan-hewan buas itu satu sama lain, memaksa mereka bertempur untuk melatih mereka, untuk menjadikan mereka kuat dan kejam. Henri melepaskan pegangannya. Aku tidak bisa memegang Bernie Kosar lebih lama lagi. Perlahan- lahan aku meletakkan Bernie Kosar di rumput di kakiku. Aku tidak merasakan gerakannya dan aku tidak tahu apakah dia masih hidup. Aku melangkah ke depan dan jatuh berlutut. Para prajurit di sekeliling kami berteriak. Aku tidak memahami bahasa mereka, tapi dari nada suara mereka aku tahu mereka tidak sabar. Salah satu prajurit mengayunkan pedangnya dan sebuah belati melesat tanpa mengenaiku, kilatan warna putih lewat dan bagian depan kemejaku berkibar serta robek. Aku tetap berlutut dan menengadah memandang hewan buas yang menjulang di atasku. Semacam senjata ditembakkan, tapi pelurunya hanya lewat di atas kepala kami. Tembakan peringatan, untuk membuat hewan buas itu beraksi. Hewan buas itu gemetar. Belati kedua membelah udara dan mengenai hewan buas itu, di bawah siku tangan kirinya. Hewan itu mendongak dan meraung kesakitan. Aku turut berduka, aku berusaha memberitahunya. Aku turut berduka atas hidup yang harus kau jalani. Kau diperlakukan dengan buruk. Tak ada makhluk hidup yang patut menerima perlakuan seperti itu. Kau dipaksa hidup di neraka, diculik dari planetmu untuk bertempur dalam perang yang bukan peperanganmu. Dipukuli, disiksa, dan dibuat kelaparan. Segala rasa sakit dan penderitaan yang kau alami adalah tanggung jawab mereka. Kau dan aku memiliki ikatan yang sama. Kita berdua diperlakukan dengan buruk oleh monster-monster ini. Dengan segenap tenaga, aku mencoba mengirimkan citra-citra, hal-hal yang kulihat dan kurasakan. Si hewan buas tidak berpaling. Pikiranku, hingga tingkat tertentu, mencapainya. Aku memperlihatkan Lorien, laut yang luas, hutan yang lebat, dan bukit-bukit hijau yang dipenuhi kehidupan. Hewan-hewan minum dari air biru yang segar. Para Loric hidup dalam kerukunan. Aku memperlihatkan neraka yang terjadi setelah itu. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak dibantai. Para Mogadorian. Para pembunuh berdarah dingin. Pembunuh kejam. Mogadorian menghancurkan apa pun yang merintangi jalan mereka akibat keyakinan menyedihkan dan kesembronoan mereka sendiri. Bahkan menghancurkan planet mereka sendiri. Lalu kapan semua itu akan berakhir? Aku memperlihatkan Sarah, memperlihatkan semua emosi yang kurasakan saat bersama dengannya. Rasa senang dan bahagia. Itulah yang kurasakan saat bersamanya. Lalu rasa sakit yang kurasakan karena harus meninggalkan Sarah, semua karena para Mogadorian. Tolong aku, kataku. Bantu aku mengakhiri kematian dan pembantaian ini. Mari bertempur bersama. Tenagaku tinggal sedikit, tapi jika kau menolongku, aku akan menolongmu. Hewan buas itu mendongakkan kepala ke langit dan meraung. Raungan yang panjang dan dalam. Para Mogadorian bisa merasakan apa yang terjadi dan telah menyaksikan cukup banyak. Mereka mulai menembakkan senjata. Aku menoleh. Salah satu meriam dibidikkan tepat ke arahku. Meriam itu ditembakkan. Kematian putih menyerbu. Namun hewan buas itu menundukkan kepala tepat pada waktunya dan menyerap tembakan itu. Wajahnya mengernyit kesakitan. Matanya dipejamkan dengan kuat, tapi langsung kembali terbuka. Kali ini aku melihat kemarahan. Aku jatuh dengan wajah terlebih dahulu ke rumput. Sesuatu mendorongku. Henri memekik kesakitan di belakangku, lalu dia terlempar sejauh sembilan meter. Tubuhnya terbaring di lumpur, wajah menengadah, berasap. Aku tidak tahu apa yang mengenai Henri. Sesuatu yang besar dan mematikan. Panik dan rasa ngeri menghantamku. Jangan. Jangan Henri, pikirku. Tolong jangan Henri. Hewan buas itu menyapukan tinju dengan kuat, menghabisi sejumlah prajurit dan menghancurkan senjata mereka. Raungan lagi. Aku menengadah dan melihat mata si hewan buas berubah menjadi merah, berkobar-kobar dengan kemarahan. Pembalasan. Pemberontakan. Hewan itu melihat ke arahku sekali kemudian berlari mengejar para penangkapnya. Senjata-senjata ditembakkan, tapi langsung dihancurkan. Bunuh rnereka semua, pikirku. Bertarunglah dengan gagah, dengan terhormat, semoga kau membunuh mereka semua. Aku mengangkat kepala. Bernie Kosar tak bergerak di rumput. Henri, sembilan meter jauhnya, juga tak bergerak. Aku meletakkan tangan di rumput dan menarik diriku ke depan, melintasi lapangan, senti demi senti, menyeret tubuhku ke Henri. Saat tiba di sana, mata Henri terbuka sedikit. Setiap tarikan napas dilakukan dengan susah payah. Darah mengalir dari mulut dan hidungnya. Aku memeluk dan menarik Henri ke pangkuanku. Tubuhnya rapuh dan lemah. Aku bisa merasakan dia sekarat. Matanya membuka, bergetar. Henri memandangku, mengangkat tangannya, lalu memegang pipiku. Begitu dia melakukan itu, aku menangis. “Aku di sini,” kataku. Henri berusaha tersenyum. “Maafkan aku, Henri,” aku berkata. “Maafkan aku. Harusnya kita pergi saat kau bilang pergi.” “Sstt,” katanya. “Bukan salahmu.” “Maafkan aku,” kataku di antara isakan tangis. “Kau luar biasa,” katanya berbisik. “Kau luar biasa. Aku selalu tahu kau bisa” “Kita harus ke sekolah” kataku. “Sam pasti sudah di sana.” “Dengar, John. Semua,” katanya. “Semua yang perlu kau ketahui ada di Peti. Suratnya.” “Ini belum berakhir. Kita masih bisa.” Aku bisa merasakan Henri mulai pergi. Aku mengguncangnya. Matanya membuka kembali, pelan. Darah mengalir dari mulutnya. “Ke sini, ke Paradise, bukan kebetulan.” Aku tidak mengerti apa maksudnya. “Baca suratnya.” “Henri,” kataku, lalu aku mengulurkan tangan dan mengelap darah dari dagunya. Henri menatap mataku. “Kau itu Pusaka Lorien, John. Kau dan yang lainnya. Harapan satu-satunya yang ditinggalkan planet kita. Rahasianya,” kata Henri, lalu dia batuk-batuk. Lebih banyak darah. Matanya menutup lagi. “Petinya, John.” Aku menariknya lebih erat, merengkuhnya. Tubuh Henri mulai mengendur. Napasnya begitu pendek, seakan dia tidak bernapas sama sekali. “Kita akan kembali sama-sama, Henri. Aku dan kau. Aku janji,” kataku sambil memejamkan mata pedih. “Kau harus kuat,” kata Henri sambil terbatuk-batuk, walaupun dia berusaha untuk terus berbicara. “Perang ini... Bisa menang... Cari yang lain... Enam... Kekuatan...,” katanya, lalu suaranya melirih. Aku mencoba berdiri sambil tetap memeluk Henri, tapi aku tidak punya tenaga lagi, bahkan untuk bernapas. Aku mendengar si hewan buas meraung di kejauhan. Meriam-meriam masih ditembakkan, suara dan cahayanya mencapai tempat duduk stadion. Tetapi semakin lama semakin sedikit meriam yang ditembakkan, hingga akhirnya hanya tinggal satu. Aku mengendorkan pelukanku. Kuletakkan tangan di wajahnya dan dia membuka mata, melihatku untuk terakhir kalinya. Henri menarik napas pendek dan mengembuskannya, lalu menutup mata perlahan- lahan. “Aku tidak akan menyesali apa yang terjadi walau hanya sedetik, Nak. Walau ditukar dengan seluruh Lorien. Walau ditukar dengan seluruh dunia,” katanya. Saat kata-kata terakhir itu meninggalkan mulutnya, aku tahu Henri telah pergi. Aku memeluknya dengan erat. Gemetaran. Menangis. Dadaku dipenuhi rasa putus asa dan hilang harapan. Lengan Henri jatuh lunglai ke rumput. Aku memegang kepala Henri dengan kedua tangan dan memeluknya di dadaku. Aku mengguncang-guncangnya, sambil menangis sejadi-jadinya. Jimat di leherku bersinar biru, menjadi berat selama sepersepuluh detik, lalu meredup dan kembali normal. Aku duduk di rumput dan memeluk Henri, saat dentuman meriam terakhir menghilang. Rasa sakit meninggalkan tubuhku. Seiring dinginnya malam, aku merasakan diriku sendiri mulai memudar. Bulan dan bintang bersinar di atas. Aku mendengar suara tawa dingin terbawa angin. Aku mengenali suaranya. Aku menoleh. Mengatasi rasa pusing dan pandangan yang kabur, aku bisa melihat satu pengintai Mogadorian lima meter dariku. Jubah panjang, topi diturunkan ke mata. Mogadorian itu menjatuhkan jubah dan melepaskan topinya, memperlihatkan kepala pucat dan tak berambut. Dia meraih ke belakang ikat pinggangnya lalu mengeluarkan pisau berburu, panjang bilahnya tidak kurang dari tiga puluh senti. Aku menutup mata. Tak peduli lagi. Napas serak si pengintai menghampiriku, tiga meter, lalu satu setengah meter. Lalu langkahnya terhenti. Mogadorian itu mengerang kesakitan. Aku membuka mata. Si pengintai itu telah begitu dekat sehingga aku bisa mencium baunya. Pisau berburu itu lepas dari tangannya. Di dadanya, mungkin di jantungnya, menyembul ujung pisau tukang daging. Pisau itu dicabut. Si pengintai jatuh berlutut, kemudian terguling ke samping, dan meledak jadi abu. Di belakangnya, memegang pisau dengan tangan kanan gemetar, dengan air mata di matanya, berdirilah Sarah. Dia menjatuhkan pisau itu dan bergegas menghampiriku. Kemudian Sarah memelukku. Aku masih memeluk Henri dan kepalaku terkulai. Dunia berubah hampa. Pertempuran berakhir, sekolah hancur, pepohonan tumbang, tumpukan abu di rumput di lapangan football. Aku masih memeluk Henri. Dan Sarah memelukku.