CITRA-CITRA TAMPAK SILIH BERGANTI, membawa kesedihan dan kebahagiaannya masing-masing. Terkadang keduanya. Yang terburuk adalah citra hitam gelap gulita tanpa cahaya, dan yang terbaik adalah citra kebahagiaan yang begitu menyilaukan mata. Keduanya tampak silih berganti seolah disorotkan proyektor yang terus menerus djalankan oleh suatu tangan tak kasat mata. Satu citra, lalu yang lain. Bunyi penutup lensa. Lalu berhenti. Berhenti di citra yang satu ini. Ambil dan pegang citra itu dekat-dekat. Lihatlah. Henri selalu berkata: Nilai sebuah ingatan adalah kenangan akan kesedihan dan emosi yang ditimbulkannya. Suatu hari di musim panas yang hangat, rumput yang sejuk, dan matahari bersinar tinggi di langit tak berawan. Angin bertiup dari perairan, membawa kesegaran laut. Seorang lelaki berjalan ke rumah, membawa tas kantor. Lelaki itu masih muda, dengan rambut cokelat dipotong pendek, baru bercukur, berpakaian santai. Dia tampak gugup, terlihat dari caranya memindahkan tasnya dari tangan yang satu ke tangan yang lain dan keringat yang mengalir di dahinya. Dia mengetuk pintu. Kakekku menjawab, membuka pintu dan mempersilakan lelaki itu masuk, lalu menutup pintu. Aku kembali bermain di halaman. Hadley berubah wujud, terbang, lalu menghindar, lalu berlari. Kami bergulat dan tertawa hingga sakit perut. Hari berlalu. Aku masih terlalu kecil untuk memahami waktu. Lima belas menit berlalu. Mungkin kurang. Pada usiaku itu, sehari bisa berlangsung selamanya. Pintu terbuka lalu tertutup. Aku mendongak. Kakekku berdiri bersama si lelaki tadi. Mereka berdua memandangku. “Ada orang yang ingin kukenalkan kepadamu,” katanya. Aku berdiri dari rumput, menepukkan tangan untuk membersihkan kotoran. “Ini Brandon,” kata kakekku. “Dia Cêpanmu. Kau tahu apa artinya?” Aku menggelengkan kepala. Brandon. Itu namanya. Setelah bertahun-tahun berlalu, baru kali ini aku mengingatnya. “Itu artinya mulai sekarang dia akan menghabiskan banyak waktu bersamamu. Kalian berdua. Itu artinya kalian terhubung. Kalian terikat satu sama lain. Kau mengerti?” Aku mengangguk dan berjalan menghampiri lelaki itu. Aku mengulurkan tangan meniru sikap orang-orang dewasa yang sering kulihat. Lelaki itu tersenyum dan berlutut. Dengan tangan kanannya, dia meraih tanganku yang kecil dan menggenggamnya. “Senang bertemu denganmu, Pak,” kataku. Matanya yang penuh semangat hidup, ramah, dan riang menatap mataku seolah memberikan janji, suatu ikatan. Namun, aku terlalu muda untuk memahami apa arti janji atau ikatan itu. Lelaki itu mengangguk dan meletakkan tangan kirinya di atas tangan kanannya, tanganku yang kecil lenyap di antara keduanya. Dia mengangguk ke arahku, masih tersenyum. “Anakku sayang” katanya. “Aku yang senang.” * * * Aku tersentak bangun. Aku berbaring telentang, jantungku berdegup kencang, napasku terengah- engah seolah baru berlari. Mataku tetap menutup tapi aku tahu matahari telah terbit dengan adanya bayangan panjang dan udara segar di ruangan itu. Rasa sakit terasa kembali. Tungkai dan lenganku masih berat. Seiring dengan itu, aku merasakan rasa sakit lain. Rasa sakit yang jauh lebih besar daripada rasa sakit fisik yang pernah kurasakan: ingatan dari beberapa jam sebelumnya. Aku menarik napas dalam dan mengembuskannya. Sebutir air mata bergulir di wajahku. Aku tetap menutup mata. Aku berharap―harapan tak masuk akal―bahwa jika aku tidak menyongsong hari ini maka hari akan melewatiku, dan hal-hal yang terjadi tadi malam akan terhapus. Tubuhku bergetar, isakan berubah menjadi tangisan. Aku menggelengkan kepala dan menahannya. Aku tahu Henri sudah meninggal. Aku tahu bahwa hal itu tidak akan berubah. Aku merasakan gerakan di sampingku. Aku tegang, mencoba tetap tak bergerak agar tak terlacak. Sebuah tangan terjulur dan menyentuh pipiku. Sentuhan lembut penuh cinta. Mataku terbuka, menyesuaikan diri dengan cahaya pagi hingga langit- langit suatu kamar yang tak kukenal tampak jelas. Aku tidak tahu di mana aku berada, atau bagaimana aku bisa tiba di tempat itu. Sarah duduk di sampingku. Dia memegang pipiku dan mengusap alisku dengan ibu jarinya. Dia membungkuk dan menciumku, ciuman yang lembut dan lama sehingga aku berharap bisa memasukkannya ke dalam botol dan menyimpannya. Lalu dia mengangkat wajahnya. Aku menarik napas dalam dan menutup mata, lalu mencium keningnya. “Kita di mana?” tanyaku. “Hotel, lima puluh kilometer dari Paradise.” “Bagaimana aku bisa sampai di sini?” “Sam yang mengantar kita,” jawab Sarah. “Maksudku dari sekolah. Apa yang terjadi? Aku ingat kau bersamaku tadi malam, tapi aku nggak ingat kejadian setelahnya,” kataku. “Rasanya seperti mimpi.” “Aku menunggu di lapangan bersamamu sampai Mark datang. Lalu dia membawamu ke truk Sam. Aku nggak bisa sembunyi lebih lama lagi. Di sekolah, tanpa tahu apa yang terjadi di luar, justru membuatku khawatir. Lagi pula kurasa aku bisa membantu, entah bagaimana.” “Kau sudah membantu,” kataku. “Kau menyelamatkan nyawaku.” “Aku membunuh alien,” kata Sarah, seolah masih belum percaya. Sarah merangkulku, tangannya memegang belakang kepalaku. Aku mencoba duduk. Aku bisa bangkit hingga setengah jalan, kemudian Sarah membantuku, mendorong punggungku dengan hati-hati agar tidak menyentuh luka akibat belati. Kuayunkan kaki ke lantai dan kuulurkan tangan, meraba goresan di sekeliling pergelangan kakiku dengan ujung jari dan menghitungnya. Masih tiga. Dengan begitu aku tahu Nomor Enam selamat. Aku telah menerima nasib bahwa aku akan menghabiskan sisa hidupku sendirian, menjadi pengembara kesepian tanpa tempat tujuan. Tapi ternyata aku tidak sendiri. Nomor Enam masih ada, masih bersamaku, mengikatku dengan duniaku yang dulu. “Enam baik-baik saja?” “Ya,” jawab Sarah. “Dia ditikam dan ditembak, tapi sepertinya sekarang dia baik-baik saja. Kupikir dia tak akan selamat seandainya Sam tidak membawanya ke truk.” “Di mana dia?” “Di kamar sebelah, dengan Sam dan Mark.” Aku berdiri. Otot dan sendiku terasa nyeri sebagai protes. Seluruh tubuhku terasa kaku dan sakit. Aku mengenakan kaus bersih dan celana pendek. Tubuhku segar dan berbau sabun. Luka-luka di tubuhku sudah dibersihkan dan diperban, ada beberapa yang dijahit. “Ini semua kerjaanmu?” tanyaku. “Sebagian besar. Menjahitnya susah. Kami cuma punya satu contoh jahitan, yang Henri buat di kepalamu. Sam membantu menjahit.” Aku memandangi Sarah yang duduk di tempat tidur, dengan kaki dilipat. Mataku melihat sesuatu, sesuatu yang kecil dan bergerak di bawah selimut di ujung tempat tidur. Badanku menegang. Aku langsung teringat akan musang-musang yang berlari di gedung olahraga. Sarah melihat apa yang kulihat dan tersenyum. Dia merangkak ke ujung tempat tidur. “Ada yang ingin menyapamu,” kara Sarah. Lalu dia memegang ujung selimut dan membukanya perlahan- lahan, memperlihatkan Bernie Kosar yang sedang tidur. Kaki depannya dipasangi pelat logam. Tubuhnya dipenuhi luka-luka yang, seperti punyaku, sudah dibersihkan dan mulai sembuh. Matanya perlahan- lahan terbuka dan menyesuaikan diri. Lingkaran merah ada di sekeliling matanya, dan dia tampak sangat lelah. Bernie tidak mengangkat kepala tapi ekornya dikibas-kibas pelan, menepuk kasur dengan lembut. “Bernie,” kataku, lalu aku berlutut di depannya. Kusentuh kepalanya lembut. Aku tidak bisa berhenti tersenyum dan air mata kebahagiaan merebak di mataku. Tubuh kecilnya dilingkarkan membentuk bola, kepalanya diletakkan di kaki depannya, matanya memandangku, dengan bekas luka akibat pertempuran tapi masih mengisahkan cerita. “Bernie Kosar, kau selamat. Aku berutang nyawa kepadamu,” kataku, lalu mencium kepalanya. Sarah membelai punggung Bernie Kosar. “Aku membawanya ke truk saat Mark membawamu.” “Mark. Aku menyesal karena pernah meragukannya,” kataku. Sarah mengangkat salah satu telinga Bernie Kosar. Bernie Kosar menoleh, mengendus tangan Sarah lalu menjilatnya. “Kata Mark, Bernie Kosar membesar hingga sembilan meter dan membunuh hewan buas yang ukurannya dua kali lipat. Apa benar?” Aku tersenyum. “Tiga kali lipat.” Bernie Kosar memandangku. Pembohong, katanya. Aku menunduk dan mengedip ke arahnya. Aku kembali berdiri dan memandang Sarah. “Semua ini,” kataku. “Semua ini terjadi begitu cepat. Bagaimana kau menerimanya?” Sarah mengangguk. “Menerima apa? Kenyataan bahwa aku jatuh cinta dengan alien, yang baru kuketahui sekitar tiga hari yang lalu, lalu tiba-tiba saja berjalan masuk ke kancah peperangan? Yeah, aku menerimanya dengan baik.” Aku tersenyum. “Kau malaikatku.” “Ah,” katanya. “Aku cuma seorang gadis yang gila karena cinta.” Sarah turun dari tempat tidur dan memelukku. Kami berdiri di tengah ruangan, saling berpelukan. “Kau benar-benar harus pergi?” Aku mengangguk. Sarah menarik napas dalam. Saat mengembuskan napas, badannya bergetar. Dia berusaha menahan tangis. Selama dua puluh empat jam terakhir ini aku melihat lebih banyak air mata daripada yang pernah kulihat sepanjang hidupku. “Aku tak tahu ke mana kau harus pergi atau apa yang harus kau lakukan, tapi aku akan menunggumu, John. Segenap hatiku adalah milikmu, baik kau minta ataupun tidak.” Aku menarik Sarah. “Dan hatiku milikmu,” kataku. * * * Aku berjalan melintasi ruangan. Di atas meja ada Peti Loric, tiga buah tas, komputer Henri, dan semua uang yang dia ambil dari bank untuk terakhir kalinya. Sarah pasti menyelamatkan Peti itu dari kelas tata boga. Aku meletakkan tanganku di peti itu. Semua rahasia, kata Henri. Semua rahasia ada di dalam sini. Pada saatnya nanti, aku akan membuka Peti dan mengungkap rahasia itu. Yang jelas, itu bukan sekarang. Dan apa maksud Henri bahwa kedatangan kami ke Paradise bukan kebetulan belaka? “Kau mengemas tasku?” aku bertanya kepada Sarah yang berdiri di belakangku. “Ya, dan itu mungkin hal paling sulit yang harus kulakukan.” Aku mengangkat tas dari meja. Di bawah tas itu ada amplop manila dengan namaku di depannya. “Apa ini?” tanyaku. “Aku tak tahu. Aku menemukan itu di kamar Henri. Kami pergi ke sana setelah meninggalkan sekolah dan mengambil semua benda yang bisa kami ambil. Setelah itu, kami ke sini.” Aku membuka amplop itu dan mengeluarkan isinya. Semua dokumen yang sudah Henri buat untukku: akta kelahiran, kartu jaminan sosial, visa, dan sebagainya. Aku menghitung semuanya. Tujuh belas identitas berbeda, tujuh belas usia berbeda. Di lembar terdepan ada sticky note dengan tulisan tangan Henri. Bunyinya, “Jika perlu.” Di belakang lembar terakhir ada sebuah amplop tertutup lagi, dengan namaku. Sebuah surat. Pasti surat yang Henri bicarakan sebelum meninggal. Aku tidak sanggup membacanya sekarang. * * * Aku memandang ke luar jendela kamar hotel. Salju lembut turun dari awan abu-abu yang melayang rendah di atas kepala. Tanah terlalu hangat sehingga salju langsung meleleh. Mobil Sarah dan truk biru ayah Sam diparkir berdampingan di tempat parkir. Saat aku berdiri memandangi mobil, terdengar suara pintu diketuk. Sarah membukanya. Sam dan Mark berjalan masuk ke kamar. Nomor Enam terpincang- pincang di belakang mereka. Sam memelukku, mengucapkan turut berduka cita. “Makasih,” kataku. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Nomor Enam. Dia tidak lagi mengenakan pakaian karet. Saat ini Nomor Enam mengenakan celana jins yang dipakainya saat pertama kali bertemu denganku dan salah satu kaus olahraga Henri. Aku mengangkat bahu. “Aku baik-baik saja. Sakit dan kaku. Badanku terasa berat.” “Rasa berat itu akibat belati. Tapi nanti juga hilang sendiri.” “Seberapa parah lukamu?” tanyaku. Nomor Enam mengangkat kaus dan menunjukkan luka di samping tubuhnya, lalu luka di punggungnya. Dia menceritakan semua. Dia ditikam tiga kali tadi malam. Itu belum termasuk luka-luka lain di sekujur tubuhnya dan luka akibat tembakan di paha kanannya―sekarang sudah dibalut erat kain kasa dan plester―yang menyebabkan dia pincang. Dia mengatakan bahwa saat kami berhasil kembali, sudah terlalu terlambat untuk menggunakan batu penyembuh. Aku kagum karena dia masih hidup. Sam dan Mark mengenakan pakaian yang kemarin mereka pakai. Keduanya tampak kotor dan berlumuran lumpur, tanah, serta noda-noda darah. Mereka berdua tampak sangat mengantuk seperti yang belum sempat tidur. Mark berdiri di belakang Sam, memindahkan berat badannya dengan tidak nyaman. “Sam, sejak dulu aku tahu kau memang hebat,” kataku. Dia tertawa ragu. “Kau baik-baik saja?” “Yeah, aku baik-baik saja,” kataku. “Kamu?” “Baik.” Aku melihat Mark melewati bahu Sam. “Sarah bilang kau menggendongku dari lapangan tadi malam.” Mark mengangkat bahu. “Aku senang bisa membantu.” “Kau menyelamatkan nyawaku, Mark.” Dia menatap mataku. “Aku rasa kita semua saling menyelamatkan tadi malam. Nomor Enam menyelamatkanku tiga kali. Lalu kau menyelamatkan kedua anjingku hari Sabtu kemarin. Aku rasa kita impas.” Aku tersenyum. “Cukup adil,” kataku. “Aku hanya senang mengetahui kau bukan orang berengsek seperti yang kuduga.” Mark setengah meringis. “Seandainya aku tahu kau itu alien dan bisa menghajarku kapan pun kau mau, aku pasti bersikap lebih baik kepadamu sejak hari pertama.” Nomor Enam berjalan melintasi ruangan dan melihat tasku di atas meja. “Kita harus pergi,” katanya. Kemudian dia memandangku dengan agak khawatir, wajahnya melembut. “Hanya ada satu hal yang belum dilakukan. Kami tidak tahu kau ingin kami melakukan apa.” Aku mengangguk. Aku tidak perlu bertanya untuk mengetahui apa yang dia bicarakan. Aku memandang Sarah. Ini terjadi lebih cepat dari yang kuduga. Perutku mual. Aku merasa seakan ingin muntah. Sarah mengulurkan tangan dan memegang tanganku. “Di mana dia?” * * * Tanah lembap akibat salju yang meleleh. Aku memegang tangan Sarah. Kami berjalan menembus hutan tanpa berbicara, satu kilometer dari hotel. Sam dan Mark berjalan di depan, mengikuti jejak kaki berlumpur yang mereka buat beberapa jam lalu. Aku melihat tempat terbuka di depan, di tengah- tengahnya tubuh Henri sudah dibaringkan di atas kayu. ‘Tubuhnya dibungkus dengan selimut abu-abu yang diambil dari tempat tidurnya. Aku menghampirinya. Sarah mengikuti dan meletakkan tangan di bahuku. Yang lainnya berdiri di belakangku. Aku menurunkan selimut itu untuk melihat Henri. Matanya tertutup, wajahnya berubah menjadi kelabu pucat, dan bibirnya biru akibat dingin. Aku mencium keningnya. “Apa yang ingin kau lakukan, John?” tanya Nomor Enam. “Kita bisa menguburkannya jika kau mau. Kita juga bisa mengkremasinya.” “Bagaimana cara kita mengkremasinya?” “Aku bisa membuat api.” “Kukira kau cuma bisa mengendalikan cuaca.” “Bukan cuaca. Tapi elemen.” Aku memandang wajah Nomor Enam yang lembut. Dia tampak khawatir tapi juga stres karena kami hanya punya sedikit waktu sebelum bala bantuan Mogadorian tiba. Aku tidak menjawab. Kualihkan pandang dan memeluk Henri untuk terakhir kalinya, wajahku menempel ke wajahnya. Aku larut dalam kesedihan. “Maafkan aku, Henri,” bisikku di telinganya. Aku menutup mata. “Aku menyayangimu. Aku tidak akan melupakanmu sedetik pun. Tidak akan,” kataku. “Aku akan membawamu kembali. Entah bagaimana caranya, aku akan membawamu kembali ke Lorien. Bagiku kau adalah ayahku, ayah terbaik yang pernah kumiliki, walaupun kita sering bercanda tentang itu. Aku tidak akan melupakanmu, tidak semenit pun selama aku hidup. Aku menyayangimu, Henri. Selalu.” Kulepaskan pelukanku, kutarik selimut kembali menutupi wajahnya, dan aku membaringkannya dengan lembut di atas kayu. Aku berdiri dan memeluk Sarah. Dia memelukku hingga aku berhenti menangis. Aku menghapus air mata dengan punggung tangan lalu mengangguk ke arah Nomor Enam. Sam membantuku menyingkirkan ranting-ranting dan dedaunan. Setelah itu, kami membaringkan tubuh Henri di tanah agar abunya tidak bercampur dengan apa pun. Sam membakar ujung selimut dan Nomor Enam membuat api itu membesar. Kami semua memandangnya terbakar, dengan mata basah. Bahkan Mark pun menangis. Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun. Saat api padam, aku mengumpulkan dan memasukkan abunya ke dalam kaleng kopi yang Mark bawa dari hotel. Aku akan memindahkannya ke tempat yang lebih baik begitu kami berhenti. Setelah kembali, aku meletakkan kaleng itu di dasbor truk ayah Sam. Aku merasa tenang karena tahu bahwa Henri masih bisa bepergian bersama kami, bahwa dia masih bisa memandangi jalan saat kami meninggalkan kota seperti yang sering kali kami lakukan. Kami memasukkan barang-barang ke belakang truk. Selain barang-barangku dan Nomor Enam, Sam juga memasukkan dua tasnya. Mulanya aku bingung. Tapi kemudian aku sadar bahwa dia dan Nomor Enam sepakat bahwa Sam akan ikut bersama kami. Dan aku senang karenanya. Sarah dan aku masuk kembali ke kamar hotel. Begitu pintu ditutup, Sarah memegang tanganku dan menarikku agar menghadap ke arahnya. “Hatiku sakit,” katanya. “Aku ingin kuat demi dirimu, tapi hatiku sakit setiap kali teringat bahwa kau akan pergi.” Aku mencium kepalanya. “Hatiku juga sakit,” karaku. “Aku akan menulis surat begitu tiba di suatu tempat. Dan aku akan berusaha menelepon jika aman.” Nomor Enam menjulurkan kepala dari pintu. “Kita benar-benar harus pergi,” katanya. Aku mengangguk. Dia menutup pintu. Sarah mendekatkan wajahnya ke wajahku. Kami berdiri dan berciuman di kamar hotel. Satu-satunya hal yang membuatku kuat adalah pikiran bahwa jika para Mogadorian kembali sebelum kami pergi, Sarah akan berada dalam bahaya lagi. Kalau tidak, aku pasti pingsan. Kalau tidak, aku pasti tinggal di sini selamanya. Bernie Kosar masih berbaring menunggu di ujung tempat tidur. Dia mengibaskan ekor saat aku mengangkatnya pelan-pelan ke pelukanku dan membawanya ke luar ke truk. Nomor Enam menghidupkan truk dan membiarkannya menyala. Aku berpaling memandang hotel. Aku sedih karena ini bukan rumah kami dan tahu bahwa aku tidak akan pernah melihat rumah kami lagi. Dinding kayu dengan cat yang terkelupas, jendela rusak, sirap hitam yang bengkok akibat sinar matahari dan hujan. Tampak seperti Paradise―Surga, begitu kataku kepada Henri. Tapi itu tidak lagi benar. Surga sudah hilang. Aku menoleh dan mengangguk ke arah Nomor Enam. Dia naik ke dalam truk, menutup pintu, dan menunggu. Sam dan Mark berjabat tangan, tapi aku tidak mendengar apa yang mereka ucapkan. Sam naik ke dalam truk dan menunggu bersama nomor Enam. Aku menjabat tangan Mark. “Aku berutang banyak kepadamu, lebih dari apa yang bisa kubalas,” kataku kepada Mark. “Kau tidak berutang apa-apa kepadaku,” kata Mark. “Nggak juga,” kataku. “Suatu hari nanti aku akan membalasnya.” Aku berpaling. Hatiku hancur berkeping karena perpisahan ini. Tekadku tergantung di seutas tali tipis. Aku mengangguk. “Sampai bertemu lagi.” “Hati-hati.” Aku memeluk Sarah erat, tak mau rnelepaskan. “Aku akan kembali untukmu,” kataku. “Aku janji. Jika itu hal terakhir yang kulakukan, aku akan kembali untukmu.” Wajahnya dibenamkan di leherku. Sarah mengangguk. “Aku akan terus menunggu sampai kau kembali,” katanya. Ciuman terakhir. Aku melepaskan pelukanku dan membuka pintu truk. Mataku terus menatapnya. Sarah menutup mulut dan hidungnya dengan kedua tangan. Kami berdua tidak bisa mengalihkan pandangan. Aku menutup pintu. Nomor Enam memasukkan gigi mundur lalu memundurkan truk dari tempat parkir, berhenti, kemudian memasukkan gigi maju. Mark dan Sarah berjalan ke ujung tempat parkir dan memandang kami pergi. Air mata mengalir di kedua pipi Sarah. Aku berbalik dan memandang dari jendela belakang. Aku mengangkat tangan dan melambai. Mark balas melambai tapi Sarah hanya menatap. Kupandangi Sarah selama mungkin, semakin lama semakin kecil hingga tampak kabur di kejauhan. Truk melambat dan berbelok. Mereka berdua hilang dari pandangan. Aku kembali menghadap ke depan dan memandangi ladang- ladang yang kami lewati. Aku menutup mata dan membayangkan wajah Sarah dan tersenyum. Kita akan bersatu kembali, kataku kepadanya. Dan hingga hari itu tiba, kau akan selalu ada di hatiku dan di setiap pikiranku. Bernie Kosar mengangkat kepala dan meletakkannya di pangkuanku. Truk bergoyang-goyang di sepanjang jalan, mengarah ke selatan. Kami berempat, bersama- sama, menuju kota berikut. Di mana pun itu. TAMAT